Selasa, 20 Oktober 2009

REVOLUSI ILMIAH THOMAS S. KHUN DAN RELEVANSINYA BAGI STUDI AGAMA UNTUK RESOLUSI KONFLIK DAN PEACEBUILDING


REVOLUSI ILMIAH THOMAS S. KHUN
DAN RELEVANSINYA BAGI STUDI AGAMA
UNTUK RESOLUSI KONFLIK DAN PEACEBUILDING

A. Pendahuluan
Pandangan kaum Induktivisme dan Falsifikanisme tentang ilmu, yang hanya memusatkan perhatian pada relasi antara teori dan observasi, dan telah gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang urgen. Baik itu pada penekanan kaum induktifis naif yang menarik teori secara induktif dari hasil observasi, maupun kaum falsifikasi yang menarik dari hasil reduksinya. Dengan teori general dan koheren, konsep akan dapat memperoleh makna yang tepat dan memungkinkan memenuhi kebutuhan untuk berkembang lebih efisien. Karena di dalamnya terdapat petunjuk dan keterangan mengenai baggaimana seharusnya teori (ilmu) dikembangkan secara luas.
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak terlepas dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu di sebut dengan filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma gereja (agama).
Sejalan dengan perjalanan waktu munculnya Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung di abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Cabang-cabang ilmu yang merupakan “anak-anak” filsafat berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada abad ke-20.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemology), paradigma epistemology positivistik telah merajai bidang ini, dan telah ada selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi, sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan paradigma (Shifting Paradigms) menimbulkan ide-ide baru, letupan yang satu merangsang timbulnya ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung-menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi kekuatan dalam mengubah wajah dan tatanan dunia, dan sekaligus wajah budaya dan peradaban manusia kearah suatu “kemajuan”. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Adapun Skema progress Sains menurut Khun dapat penulis sajikan sebagai berikut : Praparadigma-prasscience –Paradigma-Norma Science—Anomali Kritis –Revolusi Paradigma Baru – Ekstra ordinary Science.
Konsep sentra Khun dalam bukunya “The Strukture of Science Revololution” adalah Paradigma yang merupakan elemen primer dalam progress Sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun sekitar paradigma dasar. Paradigma itu memungkinkan seorang ilmuan untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya dan menuntut adanya revolusi paradigmatic terhadap ilmu tersebut.
Perkembangan ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistic yang dipelopori tokoh-tokoh antara lain adalah Thomas S. Khun. Dalam makalah ini penulis ingin mencoba memaparkan pemikiran-pemikiran Thomas Khun dengan Revolusi Ilmiahnya, terlebih dahulu melihat sejarah biografinya dan relevansi terhadap studi agama untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding.
B. Sejarah Kehidupan Thomas Khun
Thomas S. Khun di lahirkan pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio Amerika Serikat. Khun kecil termasuk anak yang gigih, rajin, ulet, dan cerdas. Dengan usia yang masih relative muda terbukti pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam ilmu fisika di Harvard University, setelah sebelumnya lulus dari strara 1 dengan yudisium summa cum laude tahun 1943, dan gelar masternya diraih tahun 1946. Dengan berkembang keilmuan yang dimiliki, pada tahun 1964, ia mendapat anugerah Guru Besar (Profesor) dari Princiton University dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 untuk kesekian kalinya ia dianugerahi sebagai guru besar oleh Massachusetts Institute of University. Pada usia 73 tahun tepatnya hari senin 17 Juni 1996, Thomas S. Khun tutup usia karena menderita penyakit kanker.
Begitu banyak hasil karya yang disumbangkan oleh bapak revolusioner bagi peradaban dunia pengetahuan, diantara yang paling terkenal dan mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan pada umumnya adalah The Structure of Scientific Revolutions, sebuah buku best seller yang diterbitkan oleh Chicago of University Press pada tahun 1962. Dalam karyanya ini, Khun menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Khun memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah.
C. Pemikiran Thomas Khun
1. Sejarah Perkembangan Pengetahuan
Sejarah perkembangan suatu ilmu pengetahuan diwarnai dua buah teori yang saling berlawanan, teori revolusioner di satu sisi yang ditokohi oleh Thomas Khun dan teori evolusioner pada sisi yang lain yang dicetuskan Karl Popper. Pada mulanya pandangan Thomas S. Khun lewat karyanya yang sangat monumental, The Structure of Scientific Revolutions (1962), merespon pendapat Popper yang terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa untuk kemudian diberlakukan prinsip falsifikasi. Menurut Khun, sejarah ilmu pengetahuan hanya dipergunakan Popper sebagai “bukti” untuk mempertahankan pendapatnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran Khun yang lebih memperioritaskan sejarah ilmu dan menjadikannya sebagai starting point atau dasar pijakan penyelidikan terhadap permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemology yang selama ini masih dalam teka-teki. Bagi Khun, perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya.
Scientific revolution (revolusi ilmiah) pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkrit. Istilah paradigma dipergunakan Khun bersamaan dengan istilah-istilah teknis sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian. Khun menggunakan beberapa istilah kunci yang tidak pernah ia definisikan secara ketat dalam The Structure of Scientific Revolutions. Istilah kunci itu adalah Scientific revolution, paradigm, normal science, dan anomaly. Istilah-istilah tersebut akan pemakalah paparkan secara singkat dalam makalah ini.

2. Scientific revolution
Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang baru. Begitu juga yang di maksud dengan revolusi sains atau revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta mencita-gunakan paradigma yang baru yang sekiranya lebih rasional dan logis. Dulu misalnya, orang hanya mengetahui hanya ada lima planet di cakrawala kita. Kemudia dengan laju-pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ditemukan kembali tiga planet baru dan ribuan planet kecil, hal ini mengindikasikan bahwasanya kemajuan dari aspek astronomi kian pesat.
Setiap masyarakat yang beradap sekarang percaya bahwa bumi dengan semua anggota tata surya beredar mengelilingi matahari, padahal semula orang beranggapan, bahwa bumilah pusat alam semesta. Semua benda angkasa beredar mengelilingi bumi. Inilah yang di sebut revolusi astronomi. Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Pergantian semacam ini oleh Khun juga disebut dengan paradigm shift (pergeseran paradigma).
3. Paradigma dan Normal Science
Konsep sentral Khun selanjutnya adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Dalam kamus Inggris Indonesia arti kata paradigm adalah model, pola, contoh, dan ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan. Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan menentukan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Dalam proses keilmuan, paradigm keilmuan memegang peranan penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, dan untuk menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam beberapa literature paradigma sering disamakan dengan kerangka teori. Paradigma ilmu lahir dari akumulasi teori-teori yang saling mendukung dan saling menyempurnakan, sehingga menjadi satu kebulatan dan sebuah konsistensi yang utuh, sebaliknya dari suatu paradigma ilmu dapat melahirkan teori-teori baru, berdasarkan temuan-temuan dari para ilmuan. Sedangkan secara umum, paradigma diartikan sebagai perangkat kepercayaan atau keyakinan dasar menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
Paradigma didalam buku The Structure of Scientific Revolutions (1962), sering berubah konteks dan arti, Khun tidak dapat menjelaskan secara konsisten. Khun mendefinisikan sebagai teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eksprimen-eksprimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktivitas ilmiah para ilmuan. Istilah paradigma. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan normal science (ilmu normal), yang oleh Khun dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima ( yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan, dan instrumentasi) telah menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi padu tertentu dan riset ilmiah.
Paradigma menurut Khun, membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara terperinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini, ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini, ilmuan bias menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Inilah yang disebut oleh Khun sebagai anomaly. Jika anomaly ini kian menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka akan menimbulkan krisis. Dalam krisis inilah, paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian, sang ilmuan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis itu, ilmuan bias kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari sinilah tampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupannya maupun dalam ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil daripada saingannya dalam memecahkan beberapa masalah yang mulai diakui oleh kelompok pelaku praktek bahwa masalah-masalah itu rawan.
Untuk memperjelas maksud Khun tentang keberhasilan sebuah paradigma dapat dilihat dari teori tentang cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis quantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya, yang hanya berumur setengah abad ketika muncul teori baru Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori inipun sempat diterima oleh hampir semua pemraktik sains optika, namun kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih unggul yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad ke-19 yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang transversal.
4. Anomali dan Paradigma Baru
Untuk memunculkan penemuan baru yang diawali dengan penemuan ilmiah, maka diperlukanlah data anomali. Seperti telah dijelaskan di atas, anomaly adalah problem-problem ilmiah yang tidak bisa dijawab oleh paradigma lama. Thomas Khun menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, yaitu puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Dalam kegiatan ilmiah, para ilmuan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya adalah untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian, kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan-penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomaly, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomaly. Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan. Jadi lebih jelasnya, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
5. Krisis Revolusi
Walaupun sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala-gejala baru dan tidak terduga berulangkali muncul dan tersingkap oleh ilmiah tersebut yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :
a) Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
b) Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis dari posisi dubuis dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja. Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Setiap krisis selalu diawali dengan pengkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas. Karya Lavoisier menyajikan kasus seperti itu. Notanya yang disegel diserahkan kepada akademi Prancis kurang dari satu tahun setelah studi pertamanya yang seksama tentang perbandingan Barat dalam teori Flegiston dan sebelum publikasi-publikasi Priestley secara tuntas menyingkap krisis dalam kimia pneumatic. Demikian halnya dengan Thomas Young tentang teori gelombang dari cahaya, muncul pada tahap awal sekali ketika krisis dalam optika sedang berkembang.
Persaingan antara paradigma yang telah dianut dan paradigma rival yang muncul, menandai adanya kegawatan suatu krisis. Paradigma-paradigma yang bersaing akan memandang berbagai macam pertanyaan sebagai hal yang sah dan penuh arti dilihat dari masing-masing paradigma. Pertanyaan-pertanyaan mengenai beratnya phlogiston adalah penting bagi para ahli teori phlogiston, tetapi hampa bagi Lavoisier. Soal “aksi” pada suatu jarak yang tidak dapat diterangkan itu, diterima oleh kaum Newton, tetapi ditolak oleh kaum Cartesian sebagai hal yang metafisis bahkan gaib. Gerak tanpa sebab adalah mustahil bagi Aristoteles, tetapi dipandang sebagai aksiomatik bagi Newton.
Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama. Khun beragumentasi bahwa, para penyusun paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan. Oleh karena itu, dalam diskusi dan adu argumen antara pendukung paradigmayang bersaing tersebut adalah untuk mencoba meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma. Sebab tidak ada argumen logis yang murni yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma.
Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan ondividual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Khun dengan “Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama). Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
1) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
2) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan.
Keputusan seorang ilmuan individual akan tergantung pada prioritas yang ia berikan pada beberapa faktor, faktor tersebut antara lain :
a) Kesederhanaan
b) Kebutuhan sosial yang mendesak
c) Kemampuan memecahkan problem khusus
d) Kerapihan dan kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi.
Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Khun, faktor-faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi. Karena hal itulah Khun dianggap sebagai seorang Relativis. Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Khun sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Khun, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan.
Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan. Melalui revolusi science inilah menurut Khun perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ekstra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa. Menurut Khun, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
6. Permasalahan dan Keutamaan Revolusi Sains
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas, revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal.
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali.
D. Revolusi Ilmiah dan Relevansinya bagi Studi Agama untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu ke-Islaman tengah mengalami krisis yang akut. Banyak problem kemanusiaan dan ke-Indonesiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu-ilmu ke-Islaman akibat terlalu banyaknya anomaly yang dimilikinya. Sebut saja, misalnya kasus korupsi, kolusi, nepotisme, kasus pembunuhan sadis dan berbagai konflik social, agama, ras dan suku yang terjadi, yang merupakan bukti atas ketidakberdayaan ilmu akhlak dan ilmu fiqih dalam memandu masyarakat agar berperilaku taat terhadap norma susila dan norma hukum. Untuk kasus yang terakhir ini membuktikan bahwa hukum fiqih seakan-akan tidak mampu berbuat banyak dalam melindungi hak-hak kemanusiaan, padahal ilmu-ilmu ke-Islaman seperti fiqih harus mampu melengkapi dirinya agar tetap eksis dengan realitas masyarakat kontemporer yang semakin kompleks. Dengan kata lain, bagaimana agar ketentuan hokum mulia ini mampu diberlakukan secara bijak dalam masyarakt dengan tetap mengikuti atauran main modern yang diterima oleh seluruh masyarakat masih merupakan problem yang belum teratasi.
Oleh karena itu, krisis ilmu-ilmu ke-Islaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu ke-Islaman dengan realitas kontemporer dalam tingkat yang parah. Ilmu-ilmu ke-Islaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat. Mengapa demikian, mungkin jawabannya adalah paradigma keilmuan kita selama ini telah mengalami anomaly yang menumpuk sehingga menuntut adanya pencairan paradigma baru yang lebih mampu mengaitkan antara ilmu dan masyarakat dengan segala kompleksitasnya.
a. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal. Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
Untuk melihat sebuah paradigma konflik dapat dilihat dari berbagai teori Menurut Sholihan menyatakan; penyebab konflik social adalah:
1. Teori Hubungan Masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Maka, berhadapan dengan situasi konflik, teori ini menganjurkan agar komunikasi dan sikap saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik ditingkatkan. Selanjutnya, masyarakat dianjurkan untuk mengusahakan toleransi agar lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. Yang mirip dengan teori ini adalah Teori Kesalahpahaman Antar Budaya dimana konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi antar budaya.
2. Teori Negosiasi Prinsip yang mengatakan bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan adanya perbedaan pandangan tentang konflik itu sendiri dari pihak-pihak yang mengalami konflik. Bagi teori ini, pencapaian kesepakatan lewat jalan pemisahan perasaan-perasaan pribadi dari subyek yang berkonflik dengan isu dan masalah yang secara real mereka hadari - sangatlah penting.
3. Teori Kebutuhan Manusia memandang kebutuhan dasar manusia – fisik, mental dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi sebagai akar dari konflik. Maka, keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi serta otonomi menjadi bagian yang terpisahkan agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Teori Identitas , konflik disebabkan oleh identitas manusia yang terancam, yang berakar pada hilangnya sesuatu atau karena penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Rekonsilisasi menjadi sangat penting agar setiap orang yang terlibat konflik dapat mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan untuk dapat membangun empati antar mereka sendiri.
5. Teori Transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang diusahakan adalah perombakan struktur yang tidak adil, memperdayakan subyek konflik terutama yang tertindas, mengedepankan perdamaian pengampunan dan rekonsiliasi.
b. Paradigma Resolusi Konflik
Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan. Perpaduan antara paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial yang masing-masing mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigma yang utuh yang dapat memecahkan permasalahan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Dari hal tersebut mencerminkan adanya suatu kemajuan dalam bidang tertentu jika terjadi revolusi-revolusi yang ditandai adanya perpindahan dari paradigma klasik ke paradigma baru.
Demikian pula dengan sebuah konflik diperlukan berbagai paradigma atau pola untuk menuju sebuah resolusi konflik yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Seperti yang akan di paparkan dibawah ini. Galtung merupakan salah seorang pendiri era resolusi konflik saat ini. Galtung menawarkan tiga paradigma Resolusi konflik yang mana satu dengan lainnya saling berkaitan. Pertama, peace keeping (operasi keamanan); melibatkan aparat keamanan dan militer guna meredam konflik dan menghindari penularan konflik terhadap kelompok lain. Kedua, peace making ; upaya negosiasi antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ketiga, peace building; strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan deskruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace lebih menekankan pada kualitas interaksi daripada kuantitas. Lima hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini : (a) interaksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status, (b) adanya dukungan dari lingkungan social, (c) komunikasi terjadi secara intim. (d) proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan, (e) ada tujuan yang hendak dicapai bersama.
Sementara itu, Aruf Faturrahman (2001) menyodorkan lima model regulasi konflik, yaitu:
1. Partisi, yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dengan etnis lainnya. Model ini jarang sekali digunakan dan hal ini dimungkinkan apabila sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dari garis demarkasi Negara.
2. Model dominasi, yaitu satu dominasi etnis terhadap etnis lain, biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif.
3. Melalui proses asimilasi. Model ini adalah bentuk halus dan maju dari model kedua yang dilakukan secara alami.
4. Konsolidasi, yaitu pengakuan eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan-perbedaan.
5. Pengakuan terhadap semua etnis, tetapi tidak ada keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini disebut dengan sinkretisme.
E. Komentar Singkat tentang Konsep Science Khun
Konsep Khun tentang science progres yang terdapat dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution yang berpusat pada paradigma, telah mendobrak adanya citra suatu pencapaian ilmiah yang absolut, atau suatu yang mempunyai kebenaran seakan-akan suigeneris dan objektif. Khun menyatakan bahwa, pengetahuan tidak terlepas dari ruang dan waktu. Konsep dan pandangan Khun tentang science progres tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati kesempurnaan dan lebih sesuai dengan kondisi sejarah dan zaman.
Dengan konsep paradigmanya yang fleksibel dan tidak ketat di satu sisi, mampu mendukung adanya tradisi-tradisi ilmiah dan melepaskan adanya ketergantungan observasi pada teori. Di sisi lain, sifat paradigma yang tidak sempurna dan tidak terbebas dari anomali-anomali, mampu mendorong terjadinya suatu revolusi science dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat.
Jika mengikuti model konsep Khun tentang perkembangan ilmu tersebut, maka adalah suatu kekeliruan serius jika seorang ilmuan hanya memegang satu paradigma klasik saja, sedang anomali-anomali menyerang paradigmanya secara fundamental, walaupun tidak ada argumen logis yang dapat memaksa ilmuan untuk melakukan konversi paradigma.
E. Kesimpulan
Krisis ilmu-ilmu keIslaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keIslaman dengan realitas kontemporer dalam tingkat yang parah. Ilmu-ilmu keIslaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat. Paradigma keilmuan mereka telah mengalami anomaly yang menumpuk sehingga menuntut adanya pencairan paradigma baru yang lebih mampu mengaitkan antara ilmu dan masyarakat dengan segala kompleksitasnya.
Dalam kerangka ini, maka pemanfaatan ilmu-ilmu social humaniora Barat untuk proyek pengembangan ilmu-ilmu keIslaman menjadi sangat penting. Alasan utama bagi hal ini adalah bahwa mendobrak kebekuan ilmiah ilmu-ilmu keIslaman harus dilakukan dengan pisau bedah dan alat analisis dari manapun.
Segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya erat terkait dengan paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang digunakan ilmuwan. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya itu. Jadi, pengetahuan bukanlah sama sekali jiblakan atau fotocopy realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia.
Terlepas dari adanya kelemahan-kelemahan teori yang ditawarkan Khun menurut sebagian orang. Tapi yang terpenting adalah Paradigma Khun telah memberikan banyak kontribusi yang luar biasa dalam dinamika ilmu pengetahuan dan peradapan manusia. Oleh karena itu, apresiasi yang setinggi-tingginya pantas diberikan kepadanya.















DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama ).

Hartono, Imam R. dan Verhaak , 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Kerja Atas Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ).


Fisher, Simon et.al., 2001, Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, terj. SN. Karikasari dkk, (Jakarta: PT Gramedia).


Jamil, M. Mukhsin (Ed.), Mengelola Konflik membangun Damai: Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik (Semarang : WMC IAIN


Khun, Thomas S., 2005, The Structure of Scientific Revolutions, Terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).


Muslih, Muh., 2008, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Belukar ).

Fanani, Muhyar, 2008, Metode Studi Islam : Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar).

Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta:Kanisius).

Suparno, Paul, 1999, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta:Kanisius).


Zubaedi, dkk, 2007, Filsafat Barat: Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, ( Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Group ).

http://slendangwetan 29.blogspot.com/2008/02/revolusi-ilmu-thomas-khun.html.

ISLAM VS HINDUISM: INDIA CASE

ISLAM VS HINDUISM: INDIA CASE

A. Pendahuluan
Agama sebenarnya memiliki dua peran, yaitu agama sebagai jalan spiritual dan sebagai institusi. Fungsi yang pertama sangat erat kaitannya dengan hubungan individu terhadap Tuhan (hubungan personal) sedangkan fungsi yang kedua lebih menekankan kepada fungsi sosial kemasyarakatan. Konflik antar agama muncul dari fungsi yang kedua ini. Sebuah lembaga agama selalu berkaitan dengan serangkaian perangkat, entah itu manusia, dana, gedung, maupun misi, yang bertujuan untuk melanggengkan agama yang bersangkutan. Lembaga agama berusaha menambah jumlah pengikut dan memperkuat pengaruhnya dengan menggunakan segala cara sampai ke wilayah-wilayah tertentu yang rawan terjadi konflik. Konflik inilah yang selama ini terjadi di beberapa belahan bumi Persengketaan agama lebih disebabkan oleh adanya persoalan sosial-ekonomi-politik ketimbang masalah teologis.
Anak Benua India, juga disebut Asia Selatan, adalah wilayah yang terkenal dengan konflik-konflik antar agama, misalnya konflik antara Sihkh dan Hindu di India Barat Daya pada tahun 1980-an dan 1990-an antara Tamil Hindu dan Singhalese Budha di Sri Lanka hingga saat ini (Jaffrelot 1993). Namun dilihat dari sisi perjalanan waktu, konflik yang paling sering berulang kembali adalah konflik antara Hindu dengan Muslim. Konflik inilah yang akan dibahas dan paparkan dalam makalah ini.
Islam berada dalam situasi paradoks di Asia Selatan. Pada satu sisi, jelas bahwa Islam itu penting. Hegemoni politik Muslim di Anak benua itu yang dibangun melalui penaklukan, bukan melalui perluasan secara damai seperti di Indonesia berlangsung selama enam abad, dari pembentukan Kesultanan Delhi pada awal abad 13 hingga kemunduran kekaisaran Mogul pada abad 18 dan penaklukan oleh Inggris dari tahun 1765 hingga 1818 (Kulke dan Rothermund 1998).
Pada awal abad 21, Asia Selatan dihuni kaum Muslim dalam jumlah yang paling besar di dunia: 400 juta orang, dua kali jumlah penduduk Indonesia. Pada sisi lain, walau jumlahnya yang besar, namun kaum Muslim tetap merupakan minoritas di Anak Benua itu. Kaum Muslim hanya sekitar 29 % dari jumlah total penduduk, dan terpusat di daerah pinggir: 2/3 tinggal di Pakistan, Bangladesh, dan Maladewa, dan selebihnya hidup terpencar-pencar di India, Nepal, dan Sri lanka .
Situasi paradok ini menjelaskan perkembangan konflik Hindu-Muslim selama dua abad terakhir ini. Muslim, yang ingin mempertahankan sesuatu dari kejayaan politik Islam pada masa lalu, merasa tidak aman dan membentuk identitas politik tersendiri sejak akhir abad 19. Sementara itu Hindu, mengandalkan jumlah mereka yang besar, berupaya memastikan bahwa kendali politik tetap berada ditangan mereka. Hal inilah yang menimbulkan persaingan antara partai Kongres yang sekuler tapi didominasi Hindu dengan Liga Muslim, yang berakhir dengan dipecahnya Anak Benua itu pada tahun 1947, menjadi Indian Union yang berpenduduk mayoritas Hindu dan Pakistan yang berpenduduk mayoritas Muslim. Perpecahan politik ini didahului, disertai dan diikuti oleh kerusuhan-kerusuhan yang mematikan. Kerusuhan Hindu-Muslim sering terjadi sebelum Partisi. Lebih dari 300.000 orang terbunuh pada waktu Partisi, dan 10 samai 15 juta pengungsi melintasi perbatasan baru , dari masing-masing arah. Partisi tidak menghentikan kerusuhan. Kerusuhan terus terjadi di Pakistan, Bangladesh, dan India. Dua kerusuhan yang paling mematikan terjadi di India, yakni pada tahun 1993 setelah penghancuran mesjid Ayodhya, dan pada tahun 2002 sebagai akibat dari manuver politik di Gujarat.
Konflik yang tidak henti-hentinya ini antara masyarakat beragama disebut “communalism”, komunalisme, dalam jargon Anglo-India. Bagaimana menjelaskannya? Tulisan-tulisan mengenai hal ini sangat banyak dan paling banyak terfokus pada periode penjajahan Inggris dan periode setelah Kemerdekaan, seakan-akan komunalisme sebuah fenomena modern yang terkait dengan penjajahan. Dalam makalah ini akan di kemukakan garis-garis besar tentang kekerasan Hindu-Muslim; dan dari sejarah bagaimana dan mengapa kekerasan antar-agama terjadi di Asia Selatan saat ini.
B. Kehidupan Muslim dan Hindu
Pada abad hegemoni Muslim sebelum masa penjajahan Inggris, dapat dilihat bahwa bertentangan dengan pandangan primordialis, tidak terdapat pertentangan antara pandangan hidup Hindu dan pandangan hidup Muslim. Sebaliknya menurut para sejarawan terkemuka seperti Peter Hardy, penganut kedua agama ini memiliki konsep yang sama mengenai kehidupan yang berorientasi pada akhirat, dan mengenai masyarakat sebagai organisme hirarkis, karena Muslim juga memiliki kasta. Kedua masyarakat agama ini dapat bekerjasama dalam system politik yang sama dan dalam masyarakat yang sama.
Namun kenyataan yang sedikit negatif ini tidak harus berarti bahwa pandangan artifisialis selalu benar. Teori artifisialis beranggapan bahwa ada zaman keemasan sebelum Inggris mulai menaklukkan India pada tahun 1765, saat konflik-konflik komunal, bahkan identitas agama sendiri-sendiri tidak dikenal. Pandangan ini sangat artifisialis. Para sejarawan dapat menelusuri asal-usul dari identitas agama yang berbeda itu dari paling tidak akhir abad 13, ketika Muslim India menggunakan kata Persia Hindu untuk membedakan orang India yang tetap menjalankan ajaran agama tradisional mereka dengan penganut agama Islam. Ahli-ahli agama serta sejarah sosial baru-baru ini mengungkapkan mengenai bagaimana identitas agama yang berbeda berkembang dari waktu ke waktu di daerah-daerah yang dikendalikan oleh kaum Muslim dan di daerah-daerah yang dikuasai Hindu (Ernst 1992:22-37).
Seperti ditekankan oleh para ahli antropologi sosial, identitas yang berbeda-beda ini telah lama tertanam dalam kehidupan sosial karena ada pemisahan tempat tinggal menurut agama yang dianut. Dan pembatasan-pembatasan ritual dalam pergaulan social, Hindu menolak makanan yang dimasak Muslim, dan hubungan kelamin dilarang antara orang berbeda agama. Meski mereka hidup dalam masyarakat yang sama dan ikut berperan dalam system politik yang sama, Hindu dan Muslim sudah mempunyai identitas sosial dan agama sendiri-sendiri yang sangat jelas. Ini adalah jurang sosial yang obyektif dan terbuka.
Jurang sosial ini menyembunyikan jurang politik laten dan pengelompokan menurut agama dalam bidang politik sudah ditemukan sejak paruh pertama abad 14 oleh pelancong asal Maroko, Ibn Battuta, yang mengemukakan tentang letupan-letupan kekerasan yang sering terjadi antara penduduk Hindu kota Mangalore di pantai India Barat Daya dan sebuah koloni yang terdiri dari empat ribu pedagang Muslim yang tinggal di sebuah wilayah terpisah di pinggir kota. Catatan-catatan rinci mengenai kerusuhan-kerusuhan itu, terjadi sejak paruh kedua abad 17. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa jurang politik sudah ada pada periode pra kolonial, sehingga teori artifisialis tidak terbukti.
Pandangan yang lebih realistis terletak antara posisi primordialis dan posisi artifisialis. Hindu dan Muslim memiliki banyak persamaan dalam bidang agama dan sosial. Mereka dapat hidup dalam satu masyarakat yang sama, dalam satu system politik yang sama. Namun, mereka sudah lama memiliki identitas sendiri-sendiri yang dapat menimbulkan pengelompokan-pengelompokan politik yang saling bertentangan.
C. Sejarah Konflik Muslim dan Hindu
Selama berabad-abad terdapat prosedur yang jelas pada kedua pihak tentang cara memulai dan melakukan kerusuhan. Menurut cacatan sejarah konflik antara Hindu dan Muslim mulai terjadi pada abad ke 17. Catatan ini diambil dari Dabistan al-madhahib, sebuah karya ilmiah mengenai sekte-sekte agama Islam di India buah tangan seorang Penganut Zoroaster yang tinggal di Benares. Pelaku utama adalah kaum pertama di pihak Hindu ini adalah Sanyasis dan pihak Muslim Jelalis dan Madaris :
Pada saat itu, Sanyasis berkumpul di salah satu tempat suci untuk ziarah yang dihormati orang Hindu; kebetulan pada waktu bersamaan, tiba pula disitu sejumlah Jelalis dan Madaris yang bertelanjang bulat, mereka membawa seekor sapi, dan mereka ingin menyembelih sapi tersebut. Sanyasis membeli sapi itu dari mereka. Jelalis dan Madaris tiba untuk kedua kalinya, juga sambil membawa kedua sapi, yang juga berhasil dibeli oleh Sanyasis, setelah mereka memohon-mohon dengan sangat. Jelalis dan Madaris, berkaki telanjang dan tidak bertutup kepala, yang semakin sombong karena jumlahnya semakin besar, membawa seekor sapi yang ketiga dan membantainya. Sanyasis marah melihatnya, lalu menyerang mereka, dan konflikpun tidak dapat dihindarkan. Sanyasis akhirnya menang, dan menewaskan 700 Jelalis dan Madaris yang telanjang bulat itu; Sanyasis mengajarkan agama mereka kepada anak-anak kaum fanatik ini, yang jatuh ketangan mereka sebagai tawanan. Sanyasis sering terlibat dalam peperangan.( Mubed 1993:231).

Kemudian dalam sebuah contoh lain dari tahun 1713, terjadinya konflik antara Hindu dan Muslim kerena provokasi kedua belah pihak, seperti di ringkas sebagai berikut; Di kota Ahmadabad, di provinsi Gujarat sebelah Barat, seorang Hindu dan Muslim tinggal di dua sisi berbeda sebuah lapangan umum. Pada saat upacara agama Hindu untuk festival musim semi, orang Hindu itu menyalakan api unggun dilapangan. Si muslim membalas dengan menyembelih seekor sapi, hewan suci bagi ummat Hindu. Insiden ini memicu konflik antara Muslim dan Hindu yang menelan banyak korban tewas dan ratusan toko terbakar habis.
Dari banyak konflik yang terjadi antara Hindu dan Muslim, penyebab kerusuhan antara lain, unsur pertama berasal dari simbol-simbol keagamaan, bagi Hindu, simbol-simbol utama adalah kotab suci, berhala, kuil, Brahmin (sendi utama hirarkhi kasta), dan sapi, dan lebih-lebih lagi sapi adalah bendera tradisional Hinduisme. Menyembelih sapi adalah cara yang paling efektif bagi Muslim untuk menyinggung perasaan umat Hindu. Dari abad 17 hingga hari ini menyembelih sapi adalah unsur yang selalu ada dalam kerusuhan-kerusuhan komunal. Bagi Muslim, simbol-simbol utama adalah Al-Qur’an, Nabi dan barang-barang peninggalannya, masjid, pusara orang suci dan lebih umum, makam, tulisan Arab dan teori supremasi hukum Islam. Muslim tidak memiliki simbol pujaan seperti sapi bagi umat Hindu, tetapi dapat dikatakan bahwa masjid dan kegiatan ibadah didalamnnya merupakan simbul utama agama Islam.
Unsur kedua adalah seleksi cara yang paling tepat untuk dengan sengaja menodai simbol-simbol itu, suatu tindakan yang akan menjadi pemicu yang diperlukan untuk memulai sebuah konflik. Hindu mungkin membantai babi untuk menodai mesjid dan pusara orang suci, atau menganggu muslim yang sedang beribadah di masjid dengan memainkan musik agama keras-keras. Muslim mungkin menodai kuil, atau sering menyembelih sapi. Skenario menoton seperti diatas selalu terjadi berulang-ulang. tujuannya adalah merusak masyarakat lawan secara besar-besarnya; tidak saja menghancurkan rumah-rumah ibadah yang menjadi simbol, tetapi juga merebut tanah, mengusir anggota masyarakat lawan untuk merebut ruang sosial, mengubah agama lawan dengan imbalan atau kekerasan, menodai perempuan, dan membunuh.
Tindakan-tindakan kekerasan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari prosedur bersangkutan. Biasanya ada batas-batas tertentu bagi kekerasan yang dilakukan, tetapi kekerasan mungkin menjadi demikian besar dalam keadaan luar biasa, seperti pada waktu Partisi pada tahun 1947, atau ketika kerusuhan dilakukan secara besar-besaran dengan dukungan pemerintah dari balik panggung, seperti yang terjadi di Gujarat pada tahun 2002. Kekerasan-kekerasan yang terjadi secara tradisional dituangkan ke dalam prosedur tertulis dan sengaja dipicu menunjukan bahwa kerusuhan tidak pernah terjadi secara spontan. Di sinilah tersirat bahwa para penyulut konflik sangat profesional. Mereka mempunyai kemampuan khusus tentang kekerasan komunal dan bekerja untuk kepentingan politisi.
Suatu asumsi dikemukakan bahwa jika kekuasaan politik pemerintah pusat lemah, maka kerusuhan akan sering terjadi. Demikian pula yang terjadi pada tahun 1713, konflik tersebut muncul ketika kekuasaan kekaisaran Mogul mengalami masa kemunduran. Pemerintah yang vakum pada waktu Partisi memungkinkan kekerasan tragis terjadi tahun 1947. Pemerintahan kolonial, yang dianggap sebagai periode peralihan antara orde tradisional dengan orde sosial-politik modern, memiliki kelemahan-kelemahan. Mungkin benar konflik lebih banyak terjadi pada zaman kolonial daripada sebelumnya; artifisialis mungkin ada benarnya dalam hal ini. Di India pada masa sesudah kemerdekaan konflik komunal sering menjadi semakin besar semata-mata karena pemerintah tidak mampu mengirimkan serdadu secepatnya ke tempat kejadian. Bandingkan saja dengan pemerintahan Hindu, seperti Nepal. Rajanya selalu mengambil sikap tegas dalam menangani konflik komunal dari sejak hari pertama, dan tidak membiarkannya meluas.
Salah satu yang menjadi pemicu konflik antara Muslim dan Hindu di India adalah faktor ekonomi. Terdapat kepentingan yang saling bertentangan diantara orang-orang yang berada dalam kelas yang berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang. Pada tahun 1980-an, kemakmuran yang makin meningkat dari para pekerja Muslim menimbulkan kedengkian pihak Hindu dihancurkan melalui kerusuhan-kerusuhan, seperti yang terjadi pada perajut di kota Benares dan Bhiwandi (dekat Bombay) dan pada pengrajin logam di Muradabad. Dalam konflik ini kaum Muslim terusir dari wilayah-wilayah asal mereka di kota, di Hyderabad pada tahun 1980-an dan Bombay pada bulan Januari 1993, sehingga pengusaha-pengusaha Hindu dapat meraih keuntungan dari peristiwa ini.
Selain faktor ekonomi yang menjadi pemicu konflik komunal di India, faktor politik juga sangat berperan. Sering dikatakan bahwa jumlah dan serius tidaknya kerusuhan komunal ditentukan oleh situasi politik sebuah pemerintahan. Jika dilihat pada saat Partisi, ketika partai Kongres pimpinan Nehru memegang kekuasaan dengan kokoh di Delhi, ada jeda dalam konflik komunal, seperti kerusuhan anti Hindu di Bangladesh yang terjadi tahun 1963-1964. Dengan runtuhnya sistem Kongres dan bangkitnya nasionalis Hindu kanan, jumlah konflik komunal mendadak naik drastis pada tahun 1980 dan terus meningkat dan meluas ke seluruh India dan mencapai puncak pada bulan Januari 1993 dengan konflik Bombay setelah terjadi penghancuran masjid Ayodhya.
Kekerasan seperti di atas jelas diprovokasi oleh nasionalis Hindu dengan tujuan-tujuan politis. Dari tahun 1993 hingga 2002, partai nasionalis Hindu BJP menghentikan kerusuhan-kerusuhan agar tampak sebagai partai yang pantas dihormati dan agar dapat menang memperebutkan kekuasaan di pusat, strategi ini berhasil. Pada tahun 2002, strategi dibalik; BJP memilih meningkatkan ketegangan agar dapat memenangkan pemilihan umum daerah. Kerusuhan-kerusuhan anti Muslim besar-besaran dilancarkan di Gujarat, dengan hasil BJP menang di tiga negara bagian lain.
D. Perebutan Kashmir
1. Sejarah Lembah Kashmir
Kashmir merupakan sebuah wilayah kecil terletak di barat laut benua kecil India. Kashmir merujuk kepada lembah yang terletak antara Banjaran Himalaya dan Banjaran Pir Panjal di kawasan paling utara negara India. Lembah ini berasal dari sebuah lembah ‘air’. Perkataan ‘Ka’ berarti ‘air’, sedangkan ‘Shimir’ yang berarti “yang dikeringkan’’. Maka, Kashmir membawa maksud ‘lembah yang dikeringkan airnya’. Terdapat juga teori yang menyatakan lembah Kashmir ini berasal dari Tasik Satisar yang telah dikeringkan airnya.
Pada masa ini, Kashmir terbagi menjadi : Jammu dan Kashmir yang dikuasai oleh India, meliputi lembah Kashmir serta Jammu dan Ladakh. Kawasan-kawasan Utara (Northern Areas) dan Azad Kashmir yang diakui oleh Pakistan, dan; Aksai China dan Laluan Trans-Karakoram yang kuasai oleh China. Walaupun, wilayah-wilayah tersebut dikuasai oleh ketiga-tiga negara, tetapi India atau Pakistan tidak pernah mengiktiraf pemilikan antara satu sama lain ke atas kawasan- kawasan yang menjadi pertikaian. India mengklaim wilayah-wilayah, termasuk kawasan yang diserahkan oleh Pakistan kepada China yaitu Laluan Trans-Karakoram pada tahun 1963, adalah sebahagian daripada wilayahnya, manakala Pakistan pula menuntut keseluruhan kawasan Kashmir kecuali Aksai Chin dan Laluan Trans-Karakoram.
Pada zaman dahulu, Kashmir menjadi pusat penting bagi agama Hindu diikuti agama Buddha, sebelum lahir ajaran Kashmir Shaivism di abad kesembilan. Pada tahun 1349, Shah Mirza, menjadi pemerintah Islam pertama di Kashmir dan memulakan susur-galur pemerintahan Salatin-i-Kashmir. Sejak itu, selama lima abad Kashmir diperintah oleh kerajaan monarki Islam, termasuk kerajaan Mogul, yang memerintah sehingga tahun 1751, diikuti kerajaan Afghan Durranis, yang memerintah sehingga tahun 1820, sebelum ditawan oleh kerajaan Sikh di bawah Ranjit Singh. Pada tahun 1846, selepas membeli wilayah ini daripada British di bawah Perjanjian Amritsar, kerajaan Dogra di bawah Gulab Singh, menjadi pemerintah Kashmir yang baru. Pemerintahan Dogra yang menjadi wakil kepada Raja Britain, tamat pada tahun 1947, apabila negeri bangsawan ini kemudian menjadi wilayah yang bergolak dan ditadbir oleh tiga negara: India, Pakistan, dan China. Sejarah Awal Maharaja Mauryan, Ashoka dikatakan merupakan orang yang bertanggungjawab membuka bandar Srinagar, yang kini merupakan ibu negeri Jammu dan Kashmir. Pada masa itu, Kashmir merupakan pusat pendidikan bagi agama Buddha. Berikutan berkembangnya pemerintahan Islam mulai tahun 1349, Islam menjadi agama dominan di Kashmir. Pada masa itu, penganut agama Islam dan Hindu di Kashmir hidup secara harmoni, memandangkan cara hidup sufi di Kashmir yang diamalkan dalam ajaran Islam melengkapi tradisi Rishi yang diamalkan oleh Pendita-Pendita Kashmir. Bagaimanapun, setelah beberapa lama kerajaan Sufi memerintah Kashmir, ia digantikan dengan kerajaan monarki Islam apabila Akbar Khan menakluk Kashmir pada 1588.
Menjelang awal abad ke-19, lembah Kashmir telah melalui beberapa pemerintahan, didahului dengan Empayar Durrani di Afghanistan, dan kemudian di bawah\ pemerintahan Islam Mogul dan Afghan selama empat abad, sehingga kepada penaklukan oleh tentera Sikh pada awal abad ke-16.
Selepas berlaku pemberontakan India pada tahun 1857, apabila Kashmir menyokong British, negeri Kashmir kemudian diletakkan di bawah naungan Raja British. Maharaja Hari Singh, yang menaiki takhta Kashmir pada tahun 1925 telah memerintah Kashmir sehinggalah kerajaan monarki Sikh itu dijadikan sebagai sebahagian daripada jajahan British sehingga tahun 1947 sebelum terjebak dengan pergolakan selepas Pemisahan Jajahan British India yang membawa pembentukan dua negara iaitu India dan Pakistan.
Selepas pembentukan negara Pakistan yang terpisah daripada India, kedua-dua negara India dan Pakistan telah bersetuju supaya pemerintah Kashmir diberi hak, sama ada mahu menyertai Pakistan atau India. Naungan British di Kashmir berakhir pada 14 Agustus 1947.
2. Ekonomi Penduduk Kashmir
Pariwisata merupakan salah satu daripada sumber pendapatan utama penduduk Kashmir. Skardu di Kawasan Utara, merupakan tapak pendaki-pendaki gunung berlepas untuk ekspedisi pendakian di Karakorams. Ekonomi Kashmir tertumpu kepada kegiatan pertanian. Tanaman utama penduduk Kashmir adalah padi yang merupakan makanan ruji penduduk Kashmir.
Kashmir sejak zaman silam terkenal sebagai pengeluar bulu kambing Cashmere yang dieksport ke seluruh dunia. Kashmir juga terkenal sebagai pengeluar barangan kraftangan seperti selendang, permaidani sutera, permaidani tebal dan tembikar. Srinagar pula dikenali sebagai pusat barangan perak, gam, ukiran kayu dan tenunan sutera. Ekonomi Kashmir terjejas teruk pada tahun 2005 apabila berlaku gempa bumi besar pada 8 Oktober, 2005, yang mengakibatkan lebih 70,000 orang mati di kawasan yang dikuasai oleh Pakistan manakala 1,500 lagi mati di kawasan Kashmir yang dikuasai India. Pada abad ke-19, Kashmir terkenal sebagai pusat pelancongan kerana cuacanya yang sejuk. Selain Srinagar, bandar Rawalakot adalah satu lagi kawasan yang popular di Kashmir.
Kashmir mulai didiami oleh kasta Brahma pada saat agama Buddha diperkenalkan oleh para misionaris Asoka pada tahun 274 Sebelum Masehi. Pada abad ke-7 daerah ini dipimpin oleh dinasti Karkota. Kemudian diteruskan oleh dinasti Utpalas, Tantrins, Yaskaras dan Parva Gupta. Pada tahun 1001 tentara Muslim menyerang Kashmir tapi tidak pernah dapat menguasainya. Ratu Didda dari dinasti Gupta memerintah Kashmir di tahun 1003 ketika dinasti Lohara mengambil alih pemerintahan. Raja Hindu yang terakhir, Udiana Deva, diganti oleh Shams-ud-Din di tahun 1346, yang mana dinastinya memerintah hingga tahun 1586 ketika bangsa Mughul (turunan Persia-Mongol) Kaisar Akbar menaklukan Kashmir dan memperkuat pengaruh Muslim disana. Akbar adalah cucu dari Babur, yang telah mengembangkan dinasti Muslim paling berpengaruh di India (di tahun 1526). Akbar mentoleransi kehidupan antar agama dan menikahi seorang putri Hindu.
Di tahun 1752 pemimpin Afghanistan yang bernama Ahmed Shah Durrani mengalahkan pasukan Mughal dan menguasai Kashmir. Perselisihan antara Muslim dan Hindu pecah, menciptakan situasi yang tidak kunjung reda dan bibit konflik di Kashmir hingga saat ini .
E. Kashmir dijual dengan harga US$ 166
Di tahun 1819 Sikh Ranjit Singh menguasai Kashmir, tetapi akibat kerapuhan pemerintahan maka kekaisarannya hancur dan jatuh ketangan Inggris pada saat Inggris mengambil-alih Punjab di tahun 1846. Kashmir kemudian dijual kepada Maharaja Ghulab Singh (yang menobatkan dirinya sendiri) dari Jammu seharga 7.5 juta Rupee (sekitar US$ 166) dibawah Perjanjian Amritsar. Ghulab Singh juga menguasai Ladakh, Zanskar, Gilgit dan Baltistan dibawah kontrolnya. Dilanjutkan oleh para penerus Maharaja, yang ditandai dengan beberapa pemberontakan oleh rakyat Kashmir, yang sebagian besar saat ini adalah Muslim. Di tahun 1889 Maharaja Pratap Singh kehilangan kekuasaan administratif atas Kashmir akibat memburuknya kondisi pada daerah perbatasan. Inggris kemudian mengembalikan kekuasaan penuh kepada Dogra untuk memerintah di tahun 1921.
Sementara itu di India, pergerakan kemerdekaan semakin mendapatkan kekuatan dibawah kepemimpinan Mohandas Karamchand Gandhi. (Orang India menamakannya "Mahatma" yang berarti "Jiwa yang besar"). Seruan kemerdekaan segera menggema didaerah-daerah yang dikuasai para raja, terutama di Kashmir. Setelah sebuah pemberontakan masal terhadap Hari Singh di tahun 1931, Sheikh Mohammad Abdullah mendirikan partai politik pertama di Kashmir, Kongres Persatuan Muslim Jammu & Kashmir di tahun 1932. Di tahun 1934 Maharaja mengijinkan dan memberikan demokrasi yang terbatas dalam bentuk sebuah Dewan Legislatif. Pimpinan Muslim tertinggi di lembah Kashmir, Mirwaiz Maulvi Yusuf Shah, bergabung dalam Kongres, tetapi kemudian setelah nampaknya mendapatkan tunjangan bulanan dari Maharaja, Sheikh Abdullah beralih dari Kongres Muslim dan membentuk Kongres Nasional yang sekular di tahun 1939, terdiri dari golongan Hindu, Muslim dan Sikh.
F. Kemerdekaan selama 72 Hari
Di tahun 1947, Mahatma Ghandi memimpin bangsa India untuk merdeka dari penjajahan Inggris dengan perjuangan yang gigih. Tapi perjuangan itu memang mahal sekali. Pada saat Gandhi memimpin pergerakan umat Hindu, Mohammed Ali Jinnah sedang berjuang bersama umat Muslim. Jinnah menuntut pemisahan India menjadi dua bagian: Muslim dan Hindu. Ketika Inggris angkat kaki dari India, Liga Muslim mendirikan negara Pakistan (berasal dari Propinsi Pakistan Barat) dan Banglades. Kerusuhan merebak ketika minoritas Muslim dan Hindu merasa terjebak di beberapa daerah, dan dalam waktu 1 minggu 1/2 juta manusia tewas. Gandhi yang renta bersumpah untuk berpuasa hingga kerusuhan berhenti, dan hal itu dilakukannya hingga membahayakan kesehatannya sendiri. Pada saat yang sama, Inggris kembali untuk membantu mengembalikan keadaan. Keadaan kembali aman, kecuali daerah Kashmir.
Selama masa pembagian India di tahun 1947, Jammu & Kashmir adalah salah satu dari 560 Princely States, yang bukan merupakan daerah teritori dibawah hukum Negara Inggris tetapi berada di bawah wewenang langsung Kerajaan Inggris. Hukum yang berlaku saat itu memberikan kebebasan untuk bergabung dengan India atau Pakistan, atau tetap berdiri sendiri. Pada tanggal 19 Juli 1947 Kongres Muslim memberikan keputusan resmi melawan India, yaitu tetap berdiri sendiri. Tetapi suara mereka tidak mewakili suara seluruh rakyat, terutama tidak adanya dukungan dari pihak Hindu. Pada tanggal 15 Agustus sebagai batas akhirnya, Maharaja Hari Singh merasa berkeberatan, dan secara otomatis negara bagian Jammu & Kashmir menjadi berdiri sendiri.
Setelah itu , Jammu dan Kashmir telah terbagi menjadi 2 bagian, akibat terjadinya friksi antara Muslim dan Hindu. Maharaja yang merasa ngeri atas perang antar suku kemudian menyetujui untuk menggabungkan Kashmir kedalam India berdasarkan sebuah Perjanjian Asesi pada tanggal 26 Oktober 1947. Perjanjian Asesi inilah yang hingga kini masih merupakan isu perselisihan antara India dan Pakistan, yang mempersoalkan kesyahan dari perjanjian ini, dengan mrnunjuk bahwa India tidak pernah mengadakan referendum seperti yang direncanakan oleh Gubernur Jenderal India, Lord Mountbatten akan diadakan tanggal 27 Oktober 1947
G. Peperangan Berlanjut
Di tahun 1957 negara bagian Jammu & Kashmir bergabung dengan negara kesatuan India di bawah sebuah konstitusi baru. Di tahun 1965, peperangan hebat pecah lagi, dimana India menguasai lembah diantara Dras dan sungai Suru. Mereka mengembalikan daerah tersebut kepada Pakistan sesuai dengan perjanjian terhadap Pakistan, dan kembali mengambilalih daerah tersebut ketika pecah perang sipil di Pakistan Timur pada tahun 1971.
Di tahun 1987, Front Muslim Bersatu dibentuk, melakukan lobi dan memenangkan hak untuk mengadakan pemilihan umum di Kashmir pada tahun 1989. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengikuti pemungutan suara, yang menyebabkan Kongres Nasional memegang kekuasaan. Pemimpin partai, Dr. Farooq Abdullah, seorang Muslim, mengundang para pemimpin yang bertikai untuk berunding, tapi tidak memberikan hasil. Pada akhir tahun itu juga muncul perjuangan baru untuk kemerdekaan Kashmir. Jumlah pasukan separatis berkembang dari ratusan menjadi ribuan, yang sebagian besar adalah pro-Pakistan Hizbul-Mujahiddin. Front Liberasi Jammu & Kashmir (JKLF) merupakan kelompok pro-independen yang terbesar, tapi pengaruhnya semakin melemah. Kelompok lainnya bergabung dibawah payung Kongres Hurriyat (Kemerdekaan), yang berkampanye dengan cara damai untuk mengakhiri keberadaan India di Kashmir.
India membubarkan pemerintahan negara bagian tersebut dan menempatkannya berada langsung di bawah pengawasan gubernur. Dari 26 Januari 1990 dan seterusnya, penduduk Kashmir mengalami jam malam selama 8 bulan berturut-turut sebagai penerapan hukum darurat. Lebih dari 1/2 juta tentara India dikirimkan untuk menjaga Kashmir. Di bulan Mei 1999, terjadi serangan oleh kelompok Muslim yang didukung Pakistan yang mengakibatkan India melakukan serangan balasan di Kargil, Dras dan Batalik, tiga sektor yang paling strategis antara Srinagar dan Ladakh. Kondisi di lembah antara Dras dan sungai Suru dikelilingi oleh pegunungan, Ladakh berada pada ketinggian sekitar 2.100m (7.000ft), menjadikannya arena pertempuran paling tinggi di dunia.
H. Bentuk Perlawanan Baru tahun 1990-an
Memasuki tahun 1990-an merupakan episode baru yang mempunyai perbedaan dengan perlawanan pada masa sebelumnya (1947-1954, 1954-1977). Perlawanan tersebut adalah :
a. Perlawanan lebih terorganisasi dengan melibatkan lebih banyak kelompok
b. Melibatkan masyarakat yang jauh lebih terdidik
c. Banyak melibatkan generasi muda
d. Sasaran lebih luas dan perjuanganlebih keras. Apabila pada masa sebelumnya sasaran cenderung aksi demo, pemogokan, dan teroro fasilitas pemerintah, mulai periode ini juga mencakup fasilitas sipil dan non muslim.
e. Menggemanya tuntutan kemerdekaan dan lepas dari India
I. Meneliti Sumber Perjuangan Kashmir
Sumber tuntutan kemerdekaan Kahsmir bukan hal sederhana, tetapi bersifat multiple :
1. Sumber primordial
Pengalaman sebagai bangsa terjajah, dan keyakinan mereka secara historis mempunyai identitas yang berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Identitas terkenal mereka adalah Kashmiriyat (Kashmiriness), identitas yang memberikan ekslusivitas agama, bahasa, dan teritori. Apabila muslim lainnya di India menggunakan bahasa Urdu sedang orang Hindu menggunakan bahasa Hind, Kashmir menggunakan bahasa Khasmiri. Mereka merasa memiliki alasan sejarah, kultural, dan geografis (yang terisolasi).
2. Sumber Konstekstual
a. Sumber politik
Intervensi New Delhi yang membuat rakyat Kahsmir semakin tidak percaya, serta semakin banyaknya masyarakat Kashmir yang berpendidikan. Sulitnya warga Kashmir masuk institusi militer dan lembaga pemerintahan, dan pembatasan media massa. Juga banyak tokoh politik vokal yang diintimidasi atau ditangkap seperti Syed Ali Shah Geelani m(Jama’at-i-Islam), Abdul Gani Lone (Pepople’s Conference), Maulana Abbas, Qqazi Nissar, Abdul ghani Bhat (Muslim United Front).
b. Sumber Ekonomi
Bukan faktor utama, tetapi berpengaruh terutama dalam diskriminasi perolehan pekerjaan dan pendidikan. Kashmir justru termasuk negara yang angka kemiskinannya di bawah rata-rata India, walau daerah ini terus dilanda konflik politik.
c. Sumber social
a) Kebijakan beragama diskriminatif, sebagai misal Konstitusi India 1950 yang memberikan kebebasan menjalankan ibadah, sering tidak sesuai dengan juklak atau kenyataan yang ada (Edwin MB Tambunan: 2004). Sebagai contoh pembatasan kegiatan dakwah, pengkaderan dan pendidikan Islam yang dibatasi oleh pemerintah India. Kegiatan keagamaan Islam sering dibatasi karena dikhawatirkan akan merangsang konflik dengan Hindu. Kebijakan ini juga berlaku di Kashmir yang secara sosiologis berbeda dengan penduduk India di tempat lainnya.
b) Kebijakan bahasa, dengan penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional, dan bahasa Inggris dalam bahasa birokrasi atau bahasa kantor dan merupakan bahasa wajib di sekolah dianggap Kashmir sebagai ancaman terhadap bahasa Kahsmiri.
c) Munculnya sentimen pemeluk Hindu menjelang akhir tahun 1980-an yang menuntut persatuan nasional atas dasar kebudayaan dan agama yang seragam. Kemudian muncul Shiv Sena, Bajran Dal, Vish-wa Hindu, Parishad, dan Partai Bharatiya Janata Party (BJP) yang kesemuanya bersatu di bawah Hindutva yang menginginkan Hindu dijadikan sebagai acuan pokok dalam penyelenggaraan negara
d. Sumber Konstruktif
Tiga kelompok sumber pejuang Kasmir
a) Para plebisit front mereka yang menentang pendudukan India, menginginkan aksesi dengan Pakistan
b) Politisi dan pejabat sipil yang tersingkir
c) Kaum muda yang idealis dan militant
Dari segi tujuan ada yang menginginkan aksesi dengan Pakistan, dan ada yang menginginkan merdeka penuh. Tujuan kemerdekaan penuh (pro-Azadi) juga terbagi dalam dua hal yakni merdeka atas dasar nasionalisme sekuler JKLF, dan merdeka atas dasar Islam : The People League. Enam kelompok penggerak nasionalisme :
1. JKLF (Pro Azadi) : Pro kemerdekaan penuh JKLF, pimpinan Amanullah Khan
2. Hizb-ul Mujahiddien (pro Pakistan s/d no. 5) HMJK: Hizbul Mujahiddin Jammu Kashmir
3. Al Jehad
4. Al Barq
5. Ikhwan ul-Mulimin
6. Al Umar Mujahidin
J. Resolusi yang Pernah di Tawarkan
Patut dicatat dalam sejarah peradaban Islam, bahwa perdamaian antara Muslim dan Hindu pernah di cetuskan oleh Sultan Akbar Agung. Sultan Akbar dikenal sebagai pribadi yang jenius, bijaksana, ahli perang dan administrator negara yang ulung. Selain itu, juga ia dikenal sebagai tokoh perbandingan Agama. Pemikirannya yang sangat spektakuler untuk sebuah perdamaian terdapat dalam konsep Din-I-Ilahi yang mengandung anasir dari berbagai unsur agama yaitu Hindu, Budha, Jaina, Islam, Parsi, dan Kristen. Inti dari konsep ajaran tersebut adalah, bahwa agama merupakan gejala dari rasa tunduk kepada satu Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut Sultan Akbar, agama-agama tersebut pada hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, perlu dicari jalan kesatuan inti agama, dan dia membuat agama baru yang disebutnya sebagai Din-I-Ilahi (1582 M). Selain itu, ia juga mengajarkan ajaran yang disebut Sulh-I-Kul, yang memiliki arti perdamaian universal.
a. Sebab-sebab Timbulnya Din-I-Ilahi
Banyak bukti bahwa Akbar memulai pemerintahannya sebagai Islam ortodok yang taqwa. Dia menunaikan sholat lima waktu dalam berjama’ah, sering melakukakan azan. Dia sangat menghormati dua pemimpin agama di istana yaitu Makhdum –ul Mulk dan Syekh Abdul Nabi.
Bukti lain akan ketulusan Islam Akbar serta semangat agamanya ditunjukkan dalam pengabdiannya kepada Khwaja Muinuddin, seorang sufi besar penerus aliran Chistiyah, yang makamnya ada di Ajmer dan merupakan obyek penghormatan. Dia melakukan kunjungan pertama ke makam itu tahun 1565, dan sesudah itu dia hampir pergi ke sana tiap tahun. Kalau menghadapi persoalan kerajaan yang tidak bisa dipecahkannya atau ekpedisi yang terlalu sukar untuk dipertanggung-jawabkan, dia melaksanakan kunjungan khusus ke makam itu untuk mendapatkan bimbingan.
Karena pengabdiannya kepada Khwaja Muinuddin yang menjadikan Akbar tertarik kepada Syekh Salim Chistiy, seorang sufi sejaman yang tinggal di tempat yang akan menjadi ibukota Akbar di Fathpur Sikri. Di sinilah Akbar membangun Ibadat Kana, rumah Ibadat yang digunakan untuk berdiskusi tentang persoalan-persoalan keagamaan. Rumah Ibadat ini dibangun pada tahun 982/1475.
Pada suatu hari sultan Akbar dan para sufi berkumpul seperti biasanya untuk membicarakan persoalan agama. Sidang pertama mereka berbeda pendapat tentang posisi tempat duduk, kemudian mereka berbeda pendapat tentang kecerdasan masing-masing. Setiap golongan menuduh bahwa lawannya bodoh. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan untuk menyelesaikan masalah tapi untuk memojokkan lawan bicara, dan segera perkumpulan turun derajatnya menjadi pertengkaran agama. Dua orang teolog besar istana, Makhdum –ul Mulk dan syekh Abdul Nabi, berdiri pada pihak-pihak oposisi, mereka menyerang satu sama lain tanpa ampun sehingga Akbar kehilangan kepercayaan kepada kedua sufi tersebut dan meninggalkan mereka. Kekecewaan itu meluas kepada kaum ortodoks yang mereka wakili.
Keretakan antara Sultan Akhbar dengan ulama adalah dalam hal inetrpretasi dan pelaksanaan hukum hukum Islam, yang menjadi undang-undang negara adalah wewenang ulama, Akbar sebagai seorang penguasa tidak dapat berbuat apa-apa. Pertikaian tersebut mencapai klimaks pada tahun 1577.
b. Pokok-Pokok Ajaran Din-I-Ilahi
1) Pemberian Salam, Pesta, Makanan
Para anggota Din-I-Ilahi, pada waktu bertemu dengan sesama harus mengucapkan “Allahu Akbar”, dan jawabannya adalah “ Jalla Jallaluhu” . Motif Sultan Akbar menetapkan mode salam seperti itu, ialah untuk mengingatkan kepada manusia agar mereka memikirkan asal kejadiannya, dan menjaga ketuhanan tetap segar, hidup dan selalu diingat. Agar kehidupan akhirat bahagia para pengikutnya dianjurkan untuk banyak bersedekah.
Sultan Akbar juga memerintahkan agar para anggotanya berusaha tidak memakan daging. Mereka boleh membiarkan orang lain memakan daging tanpa dia sendiri menyentuhnya; tetapi selama bulan kelahirannya mereka bahkan tidak boleh mendekati daging. Mereka dilarang mendekati sesutau yang telah mereka sembelih; dan tidak boleh memakannya.
2) Tentang anggur, Prostitusi, Daging Sapi, Babi, Anjing
Menurut ajaran Din-I-Ilahi, anggur boleh diminum jika di izinkan oleh dokter sekadar untuk menguatkan badan; dengan syarat tidak ada kerusakan yang dihasilkan oleh penggunaan anggur itu. Hukuman yang ketat juga diperlakukan kepada para peminum atau berkumpul dan berteriak-teriak. Untuk maksud tersebut Akbar mendirikan toko anggur dekat istana.
Demikian pula dengan prostitusi, dilokalisasi disuatu tempat tertentu di dalam kota yang dinamakan Shaitanpura atau Desa Syetan. Memakan daging sapi dilarang, dan menyentuhnya saja dianggap sebagai pelanggaran. Karena binatang suci bagi Hindu. Menyentuh anjing dan babi tidak masalah bagi ajaran ini, bahkan kedua binatang ini dipelihara di bawah istana dan melihatnya tiap hari merupakan latihan agama.
3) Tentang Kawin, Mandi Junub, Kalender, Hari-hari Raya
Dilarang kawin dengan saudara sepupu dan famili terdekat, anak lelaki dibolehkan nikah pada usia 16 tahun, sedangkan perempuan 14 tahun. Pemakaian perhiasan dan pakaian sutra pada waktu solat diwajibkan.
Mandi junub yang diwajibkan dalam Islam, dianggap tidak lagi mengikat, bahwa esensinya manusia adalah sperma yang merupakan asal dasar baik dan buruk. Pada permulaan Hijrah dihapuskan, dan diganti dengan tahun pertamanya dimulai dari naik takhtanya beliau (963 H/1556 M). Bulan-bulannya sama dengan nama bulan-bulan raja Persia lama. Empat belas hari raya yang sama dengan hari raya agama Zoroaster. Sebaliknya hari-hari raya kaum Muslimin diinjak-injak, hanya shalat jama’ah Jum’at yang dipertahankan. Era baru ini dinamakan Tarikh-I-Ilahi atau Divine Era.
Setelah Sultan Akbar wafat, ia digantikan oleh puteranya Sultan Salim yang bergelar Jahanggir. Bersama kematiannya ini pula ajaran Din-I-Ilahi ini dipetieskan (dinyatakan terlarang, karena sebagian umat Islam menolak gagasan tersebut), dan akhirnya hilang dari peredaran.
K. Kesimpulan
Sejarah konflik antara Muslim dan Hindu di Asia Selatan jelas sudah dimulai pada periode prakolonial. Identitas secara berangsur-angsur terbentuk pada abad 13 pertengahan dan seterusnya, dan pada periode kolonial terdapat jurang politik laten antara Muslim dan Hindu, yang sewaktu-waktu digunakan untuk menggiring masyarakat ke satu arah tertentu melalui konflik terbuka.
Ada dua akibat dari pernyataan ini. Pertama, karena hubungan konflik Muslim dan Hindu sepanjang sejarah sengaja diciptakan, dengan latar belakang yang menunjukan bahwa unsur-unsur persamaan lebih banyak daripada unsur-unsur perbedaan dan unsur-unsur ini tidak primodial, hubungan konflik itu dapat dibalik dan suatu situasi yang lebih sehat dapat diciptakan dengan cara meletakkan tekanan yang lebih besar pada apa yang sama, dari pada apa yang berbeda. Bila menoleh ke masa lalu, secara kesluruhan hubungan Muslim dan Hindu tidak terlalu buruk . Kedua masyarakat tersebut telah belajar untuk hidup bersama-sama dan telah banyak saling membantu
Kedua, karena konflik bukan saja ciptaan pemerintah kolonial, tetapi konflik yang terjadi adalah sesuatu yang serius dan akan sulit untuk dibasmi. Menyalahkan pemerintah kolonial bukan saja semacam cara mencari kambing hitam, tetapi juga cara menolak sifat struktural dari kekerasan komunal. Jurang laten antara Muslim dan Hindu masih tetap ada. Politisi berkepentingan dalam kerusuhan-kerusuhan hasil rekayasa, dan kekerasan komunal masih dianggap alat yang sah untuk menjalankan politik sejak kerusuhan Gujarat tahun 2002, kita dapat melihat sebuah gambaran yang jelas bahwa konflik agama memang dapat membantu meningkatkan prospek meraih kemenangan dalam pemilihan umum bagi nasionalis Hindu yang berkuasa di India.











DAFTAR PUSTAKA


Alastair Lamb, Kashmir: A Disputed Legacy, 1846-1990 ( Roxford Books 1991).


Agus Surata dan Tuhana Taufiq Andriyanto, Atasi Konflik Etnis (Yogyakarta: Global Pustaka Utama bekerja sama dengan Gharba dan UPN, 2001).


Elliot, History of India as Told by its Own Historians V dalam M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009).


Gufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999).


Jasijit Singh, Kargil 1999 : Pakistan's Fourth War for Kashmir. ( South Asia
Books 1999 ).

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009).


Mark Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan:Kebangkitan Global Kekerasan Agama (Jakarta: Nizam Press, 2002).


Marc Gaborieau, dalam Glenn Smith Dan Helene Bouvier, (ed.); terj: Masri Maris, Konflik Kekerasan Internal:Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).


Maj K Barhma Singh, History of Jammu and Kashmir Rifles (1820-1956), (New Delhi: Lancer International 1990).

Oliver Mcternan, Violence in Good’s Name: Religion in an Age of Conflict (Bath: The Bath Press, 2003).

Umar Asasuddin Sokah, Din-i-Ilahi: Kontraversi Keberagamaan Sultan Akbar Agung; India 1560-1605 (Yogyakarta: Itaqa Press, 1994).


Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya: LSAS dan IAIN Press, 2007).


Jammu dan Kashmir dalam http://www.didyouknow.org/indonesia/kisah/ story-id.html.


Kashmir: Kisah Dibalik Kisah dalam http://www.historyofjihad.org/india.html.

































Lampiran 1
Berikut adalah bom yang terjadi sepanjang 2006-2009 di India

1. 7 Maret 2006
Bom di Kuil Sankat Mochan Hanuman di kota Suci Hindu, Varanasi
Korban : 28 tewas, 100+ terluka
Pelaku : Laskar e Kahar/Qahab
2. 11 Juli 2006
7 serangkaian bom meledak di kereta api di Mumbai
Korban : 209 tewas, 714 terluka
Tersangka : Gerakan Mahasiswa Islam India (SIMI), Laskar e-Toiba
3. 16 Agustus 2006
Bom di Kuil Hindu dekat Imphal
Korban : 5 tewas, 50 terluka
4. 8 September 2006
2 Bom di pemakaman Muslim di barat kota Malegaon.
Korban : 37 tewas, 125 terluka
5. 20 November 2006
Bom kereta api Bengali Barat
Korban : 5 tewas, 25+ terluka
6. 18 Februari 2007
2 bom meledak di kereta api Lahore-New Delhi setelah 1 jam berangkat.
Korban : 68 tewas,49 terluka
7. 25 Agustus 2007
2 Bom meledak di Hyderabad, dan 19 ditemukan belum meledak.
Korban : 44 tewas, 54 terluka
Tersangka : Militan islam dari Pakistan atau Bangladesh yang ingin memperkeruh konflik Hindu dan Islam India.
8. 13 Mei 2008
Serangkaian bom meledak di 8 tempat berbeda di Jaipur, termasuk pasar yang padat pengunjung dan Kuil Hanuman.
Korban : 63 tewas, 213 terluka
Pelaku : Mujahidin India yang bekerjasama dengan LeT dan SIMI
9. 29 September 2008
2 Bom meledak di Gujarat dan Maharashtra
Korban : 8 tewas, 80 terluka
Tersangka : Abhinav Bharat dan kelompok Hindu lainnya
10. 01 Oktober 2008
3 bom meledak di daerah konflik timur laut India
Korban : 4 tewas, 100 terluka
Tersangka : militan Muslim berbasis di Bangladesh (daerah Radhanagar dan Gulbazar)
11. 02 November 2008
Bom di distrik Midnapur Barat, Bengali Barat. Target dari bom ini adalah konvoi Menteri Buddhadeb Bhattacharya.
Korban : 0 tewas, 6 terluka
Tersangka : separatis Maois
12. 26 November 2008
Serangkaian bom dan penembakan di tempat publik dan layanan publik di Mumbai
Korban : 160 tewas, 367 terluka
Pelaku : Mujahidin Deccan
Selama tahun 2005, sebanyak 4 bom meledak di sejumlah tempat di India.
13. 15 Februari 2009
Serangan bom di Pakistan
Korban : 15 tewas, 57 terluka
Pelaku : Militan Islam
14. 27 Mei 2009
Serangan bom di Lahore Pakistan
Korban : 17 tewas,
Pelaku : belum ada yang bertanggung-jawab.